Rabu, 24 Juni 2015

Melihat Tuhan

Suatu hari, seorang anak sedang bercakap-cakap dengan papanya.

Anak    : Papa, bagaimana caranya aku bisa membedakan malam sudah berakhir dan pagi menjelang?

Papa    : Mmm…..anakku sayang, kamu bisa melihat di ufuk Timur, jika langit sudah mulai kemerahan berarti malam sudah berakhir dan pagi akan menjelang, dan juga kamu bisa membedakannya dari suara kokokkan ayam jantan.

Anak    : Ooo…. Begitu ya Papa.

Papa    : O itu bulat anakku, seperti donat. (canda si Papa)

Anak    : Hahaha……Papa ini lucu. Lalu Pa, bagaimana aku bisa melihat Tuhan?

Papa    : Mmm…..itu susah anakku.

Anak    : Kenapa susah, Pa? Bukankah Tuhan itu ada dimana-mana?

Papa    : Anakku sayang, hal itu susah karena kamu harus mempunya hati yang murni dan juga karunia dari Roh Kudus. Jika kamu mampu melihat dalam wajah setiap orang yang kamu jumpai itu adalah wajah saudara atau saudarimu tanpa perbedaan, maka sebenarnya kamu telah melihat Tuhan.
Tuhan selalu hadir dalam setiap diri orang yang kita jumpai, seperti teman kita, orang asing, pengemis, gelandangan, penyandang cacat, orang sakit, dan lain sebagainya.
Susahnya adalah karena kesombongan dalam diri kita menghalangi kita untuk mampu melihat kehadiran Tuhan dalam diri sesama kita.

Anak    : Ya Papa….
…….

Ego kita, kesombongan kita, keserakahan kita, kerapkali menjadi batu sandungan untuk bisa melihat Tuhan dalam hidup kita di dunia ini.

Jika kita belum bisa melihat kehadiran Tuhan dalam diri sesama terutama yang menderita, maka seperti halnya membedakan pagi dan malam, kapanpun waktunya, hari sebenarnya masih malam.

Nah pilihan ada di tangan kita masing-masing, apakah kita lebih memilih “hari yang malam karena kita bisa terus beristirahat” atau “pagi yang membuat kita terus berkarya serta melayani Tuhan melalui diri sesama kita” ?

Kiranya Tuhan mengutus Roh Kudus dalam diri kita masing-masing sehingga kita mampu memperbaiki hati kita menjadi murni kembali sehingga mata kita pun mampu melihat Tuhan dalam diri setiap orang yang kita jumpai terutama mereka yang menderita.


Tuhan memberkati selalu.

Teman-teman terkasih dalam Kristus, diperkenankan mengutip / mengcopy / menyebarluaskan artikel diatas dengan mencantumkan:
"sumber: Melodi-Kasih-Tuhan.blogspot.com"

With love,

Mikael Oka

Rabu, 17 Juni 2015

Dunia Tanpa Rupa

Suatu hari di hari libur, seorang anak kecil berjalan-jalan dengan papanya di sebuah taman.

Anak kecil itu melihat seorang yang tampak sangat kumuh sedang duduk-duduk di tepi taman sambil berbicara sendiri sambil beberapa kali memegang perutnya.

Anak kecil        : Pa, lihat orang itu sepertinya dia lapar, boleh aku memberikan bekalku kepadanya? Kasihan dia.

Si papa melihat ke arah orang lalu segera mengajak anaknya pergi menjauh dari sana.

Papa                : Jangan nak, itu orang yang jiwanya terganggu, kita pergi saja dari sini. Papa mual melihat tampangnya, papa tidak mau tangan papa kotor menolongnya dan juga papa tidak mau terjadi apa-apa dengan kamu. Jangan kasihan dengan orang sakit jiwa seperti itu.

Anak kecil        : Lho kenapa, Pa? Bukannya kita semua ini sama? Seperti yang diajarkan di Gereja, bukankah kita ini semua bersaudara dalam Tuhan?

Wajah si papa agak merah dan telinganya panas mendengar apa yg disampaikan anaknya itu.

Papa                : Jangan membantah, pokoknya ikut Papa pergi. Orang sakit jiwa itu tidak pantas dikasihani, mereka kena kutuk Tuhan, dan mereka adalah sampah bagi dunia ini.

Anak kecil        : Pa… paling tidak, tolong berikan bekalku ini padanya, setidaknya perutnya akan merasakan kenyang. Tolong, Pa… Tuhan pun pasti akan berterima kasih pada Papa.

Papa                : Kamu ini……  Baiklah mana bekalmu, nak?

Setelah si anak memberikan bekalnya kepada si papa, si papa melempar bekal itu ke dekat orang yang sakit jiwa itu. Orang yang sakit jiwa itu memungutnya dan memakannya dengan lahap.

Anak kecil        : Pa, kok begitu cara papa memberikan kepadanya?

Papa                : Sudah… jangan cerewet, kan yang penting papa sudah memberikan bekalmu kepada dia, ayo kita pergi.

……

Kerapkali kita menjumpai hal-hal seperti di atas dewasa ini, kita, atau bahkan kita lah yang menjadi seperti si papa?

Cobalah memandang dari hati kita, dan kita akan mengetahui dan menyadari bahwa di dalam setiap orang yang menderita, mereka yang mengalami gangguan kejiwaan, Yesus menjelma. 

Itulah Yesus yang kita anggap menjijikkan, Yesus yang membuat perut kita mual, Yesus yang terabaikan, Yesus yang tidak waras karena kasih-Nya, Ia mengorbankan hidupnya demi kita yang justru menyalibkan-Nya dengan dosa-dosa kita.

Waspadalah karena dunia ini semakin memandang rupa saja, karena memang iblis merancangnya supaya kita berjalan ke kebinasaan abadi.

Alangkah lebih baik seorang yang tidak dapat melihat dan juga tidak dapat mendengar, ia dapat sepuasnya memusatkan dirinya pada Tuhan, tidak tersesat indra keduniawian, tidak terjebak dengan rupa maupun tersesat karena mendengar suara-suara dunia.

Berdoalah senantiasa supaya kita mampu melihat dengan hati dan mendengar dengan nurani, dan supaya Tuhan melalui perantaraan Bunda Maria, membawa kita kepada keselamatan kekal.

Tuhan memberkati selalu.


Teman-teman terkasih dalam Kristus, diperkenankan mengutip / mengcopy / menyebarluaskan artikel diatas dengan mencantumkan:
"sumber: Melodi-Kasih-Tuhan.blogspot.com"

With love,

Mikael Oka

Selasa, 02 Juni 2015

Hidangan Lidah

Disuatu masa, dimana seorang raja menjadi panutan bagi rakyatnya, diadakan suatu perayaan karena panenan yang berlimpah di tahun itu.

Raja tersebut memanggil seorang pelayan kepercayaannya dan memintanya untuk menyiapkan hidangan yang paling lezat dan penting yang mewakili kerajaan, yang bisa dinikmati oleh semua rakyatnya.

Pada saat perayaan, pelayan itu menghidangkan makanan olahan lidah semuanya.

Raja tersebut terkejut dan bertanya kepada pelayan kepercayaannya itu, ”Kenapa semua hidangan ini berbahan lidah, apakah tidak ada hidangan olahan daging lainnya?”

Si pelayan menjawab,”Tuanku, daging apakah yang melebihi lidah? Lidah adalah saluran pengetahuan dan kebijaksanaan. Melalui lidah, muncul pidato-pidato hebat, sambutan-sambutan hangat, bahkan puji-pujian. Dengan lidah, muncul perjanjian-perjanjian bisnis yang memakmurkan kerajaan ini, dengan lidah pula tercipta komunikasi harmonis dengan Tuhan. Sungguh tidak ada sesuatu yang sama pentingnya dengan lidah.”

Sang raja diam-diam memuji kecerdasan pelayan tersebut.

Sang raja hendak menguji lebih dalam lagi kecerdasan pelayan kepercayaannya itu, lalu ia berkata, “Besok, saya ingin kamu untuk datang ke saya dan membawakan hidangan daging yang paling buruk, paling tidak enak pada saya.”

Si pelayan menyanggupinya.

Keesokan harinya …

Si pelayan menghidangkan kembali makanan dari olahan lidah.

Melihat hal itu, sang raja berkata:”Mengapa kamu kembali menghidangkan olahan lidah? Bukankah saya sudah memerintahkan ke kamu untuk menghidangkan makanan daging yang paling buruk?”

Si pelayan menjawab,” Tuanku, apakah ada daging yang lebih buruk dari lidah? Apakah ada kejahatan di dunia ini yang tidak dilakukan oleh lidah? Penipuan, ketidakadilan, pembunuhan, korupsi, pengkhianatan, pencurian, peperangan, semuanya itu dibicarakan dan ditentukan oleh lidah. Lidah mampu menghancurkan kerajaan dan bangsa, memporakporandakan keharmonisan rumah tangga, menciptakan kesengsaraan bagi masyarakat, menganiaya kaum papa dan kaum disfabel (cacat). Jadi, apakah ada daging yang lebih buruk daripada lidah, Tuanku?”

Mendengar jawaban pelayan tersebut, sang raja memujinya dan memberikan beberapa macam hadiah.

Lidah… sesuatu yang kelihatannya tidak penting, sepele, namun bisa membawa kebaikan dan juga disisi lain kebinasaan apabila disalahgunakan.

Di dalam Alkitab pun disinggung bahwa kita harus waspada dalam mempergunakan lidah supaya kita tidak jatuh dalam perangkap si jahat yang membawa kita kepada kebinasaan kekal.

Kiranya dengan berkat serta perlindungan Tuhan dan dengan pendampingan Bunda Maria, kita semua dihindarkan dari penyalahgunaan lidah dan dengan lidah yang kita miliki, kita mampu membawa kebaikan bagi sesama serta memuliakan Tuhan.


Tuhan memberkati selalu.

Mikael Oka