Jumat, 04 April 2014

Kisah Seorang Imam Selama 30 Tahun Ditahan di Kamp Kerja Paksa


04/04/2014


Monsignor Matthew Koo mengisahkan ketika ia ditahan di kamp kerja paksa di Cina selama 30 tahun karena devosinya kepada Bunda Maria, meskipun pengalaman itu menyakitkan ia mengatakan bahwa ada juga banyak berkat.

“Oh, saya berpikir bahwa penderitaan itu adalah karunia Tuhan. Orang-orang mengatakan bahwa ‘Anda banyak menderita, saya mengatakan kalau tidak menderita, bagaimana saya bisa berada di sini?” kata imam itu dalam sebuah wawancara pada 17 Maret dengan Catholic News Service.

Msgr Koo berasal dari Shanghai di Cina daratan. Setelah masuk seminari tahun 1953, ia ditangkap karena menjadi anggota aktif Legio Maria dan dijatuhi hukuman lima tahun di kamp kerja paksa.

Sering disebut sebagai “kamp pendidikan ulang,” kamp itu adalah sistem pemerintah Republik Rakyat Cina yang umumnya digunakan untuk menahan orang dengan kejahatan ringan, dengan hukuman yang diberikan oleh polisi daripada pengadilan.

Digunakan pertama oleh Partai Komunis Cina tahun 1955 untuk menghukum para kontra-revolusioner, kamp itu memungkinkan polisi menghukum mereka yang dianggap sebagai “kontra-revolusioner” atau seseorang yang mengajarkan ide-ide  “anti-sosialis”, dan juga digunakan sebagai sarana untuk menganiaya orang Kristen di negara itu, yang masih menghadapi kesulitan besar di sana saat ini.

Ketika pertama kali dimulai, para tahanan dihukum tanpa persidangan atau dibawa ke pengadilan.

Mengenang malam ia ditangkap, Msgr Koo mengungkapkan bahwa tahun 1955, “pada pesta kelahiran Santa Maria,” para pejabat datang ke seminari “dan menangkap para imam, guru dan seminaris.”

“Kejahatanku adalah Legio Maria itu. Saya bergabung dengan Legio Maria ketika saya masih di sekolah menengah. Jadi ini adalah kejahatan saya dan mereka menangkap saya. Pertama kali, mereka menahan saya selama lima tahun,” jelasnya, seraya menyoroti bagaimana ia dihukum “tanpa hakim” dan “tanpa pengacara.”

Beberapa tahun kemudian, ketika presiden baru Cina telah terpilih, imam itu menceritakan bahwa ada perubahan dalam kebijakan pengadilan, sehingga ia kembali ke pengadilan dan dituduh melakukan kejahatan. 

“Msgr Koo membantah dirinya sebagai seorang kontra-revolusioner,” dan “Msgr Koo membantah bahwa Legio Maria bukan kelompok kontra-revolusioner,” dan ia dijatuhi hukuman selama tiga tahun.

“Jadi, saya tinggal di kamp kerja paksa di Cina” melakukan tugas-tugas fisik seperti membuat batu bata dan menggali tanah, lanjutnya, seraya mencatat bahwa ada seminaris lain “di tim yang sama” mengalami seperti dia.

Setelah hari kerja, Msgr Koo ingat bagaimana mereka “berdoa Rosario bersama-sama,” namun setelah para pejabat menemukan sebuah catatan dari seminaris yang menulis kepadanya dengan mengatakan kepadanya untuk berdoa bagi Paus dan Msgr Koo tetap setia pada imannya, dia mendapat hukuman tambahan 7 tahun di kamp itu.

Dengan hukuman total 10 tahun pada saat ini, imam itu mengatakan bahwa ia dipindahkan ke sebuah kamp di provinsi Qinghai, yang terletak di sebelah Tibet, dimana wilayah itu “sangat dingin.”

“Sayangnya, ada kelaparan besar di Cina selama tiga tahun. Jadi, kami tidak punya apapun untuk dimakan. Dan kesehatan saya menurun dan menurun sampai saya hanya 81 kilogram. Saya tidak bisa berjalan” dan tidak bisa bekerja, katanya.

Msgr Koo menjelaskan bahwa ia berada di negara itu selama lebih dari satu setengah tahun,  ia “menemukan cara untuk menyembuhkan” dirinya sendiri.

“Saya dirawat di rumah sakit dan saya punya lebih banyak makanan untuk dimakan. Setelah kesehatan saya membaik, saya bisa bekerja lagi. Saya menggiling gandum dari pagi hingga sore … Dan saya harus melakukan itu selama satu tahun.”

“Sepuluh tahun berlalu,” katanya, meskipun hukumannya sudah berakhir, dia masih dipaksa tetap berada di kamp itu, dimana mereka memiliki “tenaga kerja yang sama, tempat tinggal yang sama, makanan yang sama, tapi kami mendapat sedikit bayaran.”

“Kami bisa membeli rokok. Namun, dalam tiga hari Anda harus menghabiskan semua uang Anda,” katanya, seraya menambahkan bahwa ia tinggal di tempat itu selama 19 tahun.

Selama 30 tahun bekerja di kamp itu, Msgr  Koo menyatakan bagaimana ia menghabiskan dua tahun bekerja bersama uskupnya, Mgr Joseph Fan, yang juga dipenjara, tetapi kemudian ditahbiskan secara diam-diam di sebuah kapel kecil setelah mereka berdua dibebaskan.

Uskup Fan meninggal bulan lalu pada usia 97 tahun saat masih di bawah tahanan rumah oleh pemerintah Cina.

Msgr Koo menyatakan bahwa meskipun menyakitkan saat tinggal di kamp, “itu adalah anugerah Allah,” dan pengalamannya itu ia bisa pergi ke Roma dan beraudiensi dengan dua Paus.

“Jadi hal yang buruk menjadi hal yang baik. Jadi kami mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas segala sesuatu. Dan kami sangat senang … Kami memiliki kedamaian di dalam hati. Yesus berjanji kepada kita kehidupan setelah di bumi, jadi kami sangat senang.”

Sumber: UCA News

...

Teman-teman terkasih dalam Kristus, diperkenankan mengutip / mengcopy / menyebarluaskan artikel diatas dengan mencantumkan:
"sumber: Melodi-Kasih-Tuhan.blogspot.com"

With love,

Mikael Oka







Tidak ada komentar: